Jumat, 08 Juni 2012

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia
Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia
lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai
pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah
disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah
sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan
Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan
Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia
(empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad
ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita
mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa
sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan
sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu
sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan
Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka
tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu
saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba
dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane,
sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada
sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche
School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada
1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra
Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu
hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk
Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak
melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang
ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra
Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa.
Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra
Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada
2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra
(dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra
Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki
kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran
berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya
Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut
Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena
memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya
untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti
Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar
dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan
sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu
sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami
wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah
karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang
menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-
1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan
Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang
modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-
musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan
hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik,
dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan
mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh
saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa,
memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia,
yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan
sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua
“kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa
(52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar