Sabtu, 09 Juni 2012

    RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
  (RPP)


SEKOLAH                    : MAN KOTA BARU RAHA
MATA PELAJARAN     : Bahasa Indonesia
KELAS                          : X
SEMESTER                   : 1


A. STANDAR KOMPETENSI :
     Mendengarkan :
    1.   Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung

B. KOMPETENSI DASAR :
    1.2  Mengidentifikasi unsur  sastra (intrinsik dan ekstrinsik)  suatu cerita  yang di sampaikan secara           langsung atau melalui rekaman

C.    MATERI PEMBELAJARAN :
    Rekaman cerita, tuturan langsung (kaset, CD, buku cerita)
    • Unsur intrinsik (tema, alur, konflik, penokohan, sudut pandang, dan amanat)
    • Unsur ekstrinsik (agama, politik, sejarah, budaya)

D.    INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI    :
NoIndikato Pencapaian Penilaian   Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif 
1Menyampaikan unsur-unsur ekstrinstik(moral kebudayaan dan agama dll )Bersahabat/ komunikatif
Tanggung jawab    
Kepemimpinan
2Menanggapai (setuju/tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan oleh teman(setuju/tidak setuju)
3Menyampaikan unsur-unsur intrisik(tema, penokohan, kebudayaan agama, dll)Bersahabat/ komunikatif
Tanggung jawab    
Kepemimpinan
4Menanggapai (setuju/tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan oleh teman(setuju/tidak setuju)


E.    TUJUAN PEMBELAJARAN* :
    Siswa dapat:
    •    Menyampaikan  unsur-unsur intrinsik  ( tema, penokohan, konflik,      amanat, dll.) yang terkandung   di  dalam cerita yang disajikan disertai contoh     kutipannya.
    •    Menyampaikan unsur-unsur  ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama,     dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan disertai contoh kutipannya.
    •    Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan     ekstrinsik yang disampaikan teman dengan menggunakan bahasa yang santun     dan efektif.

F.    METODE PEMBELAJARAN :
  •    Penugasan
  •    Diskusi
  •    Tanya Jawab
  •    Unjuk kerja
  •    Ceramah
  •    Demonstrasi

G.    Strategi Pembelajara
Tatap Muka
Terstruktur Mandiri
Menyampaikan unsur-unsur  ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama,         dll.)

Siswa dapatMenyampaikan  unsur-unsur intrinsik  ( tema, penokohan, konflik,  amanat, dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan         disertai contoh kutipannya.
Siswa Menyimpulkan tentangsiaran atau cerita yang disampaikan secara  langsung /tidak langsung.

Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak         langsung.
Mencari siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak             langsung

Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan             ekstrinsik yang disampaikan teman.    

H.    LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :


No.
Kegiatan
A.
Kegiatan Awal   (15 menit)                                                                                                     Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.    Bersahabat/ komunikatif
B.
Kegiatan Inti   (40 menit)                                                                                                                                                Dalam kegiatan eksplorasi :    -    Mendengarkan cerita daerah tertentu (Misalnya: Si Kabayan, Roro 4 Jonggrang,    Malin Kundang)
    -    Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik
    -    Menyampaikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.
    -    Elaborasi
    Dalam kegiatan elaborasi,
    -    ceritakan yang disampaikan secara langsung atau melalui rekam¬an
    -     Diskusi dan tanya jawab
    -    Konfirmasi
    Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
    -    Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui
    -    Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.   
    -     Tanggung jawab
C.
Kegiatan akhir (    25 menit)
 - Refleksi
 - Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.    Bersahabat/                 komunikatif





I.    ALOKASI WAKTU :
  •    2 x 40 menit

J.    SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN :
  •     Buku cerita/kaset
  •     LKS : Tim. Bahasa Indonesia SMA X. Sukoharjo: Pustaka Firdaus.
  •     Buku pendamping: Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia Kelas X.          Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.     2006.

K.    PENILAIAN :
    Jenis Tagihan:
    •    Tugas individu
    •    Ulangan
Bentuk Instrumen:
    •    Uraian bebas
    •    Pilihan ganda
    •    Jawaban singkat


                                                     Mengetahui,    2011



    Kepala Sekolah                                                                         Guru Mata Pelajaran                                        


   
    NIP.                                                                                           NIP.                           



               

Jumat, 08 Juni 2012

ESENSI AJARAN ISLAM

Esensi Ajaran Islam
ESENSI AJARAN ISLAM
TENTANG KESALEHAN INDIVIDU DAN SOSIAL
I. Pendahuluan
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Andaikan di alam semesta ini tidak terdapat makhluk yang berjenis manusia, maka agama Islam tidak perlu diwahyukan oleh Allah SWT. Sebab pada esensinya, yang benar-benar membutuhkan kepada agama Islam adalah manusia. Dapat dibayangkan, andaikan seluruh manusia di planet bumi ini tidak ada satu pun yang beragama Islam, maka diduga kuat suatu hukum rimba akan berlaku bagi seluruh manusia, pihak yang kuat akan memaksakan kehendak kepada pihak yang lemah, pihak yang berkuasa akan bertindak imperialistik pada pihak yang dikuasai. Dari sudut pandang ini, betapa pun ada pihak-pihak yang tidak menyukai komunitas masyarakat Islam di bumi, sungguh suasana kondusif dan terjaganya harmonitas sosial dunia juga karena di-support secara serius oleh elite-elite pemimpin Islam internasional.

Dari sekian macam ajaran Islam, salah satu esensinya yang terpenting adalah urgensi kesalehan yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata umat manusia. Kesalehan di sini bukan sekedar konsep teoritis dan paradigmanya, tetapi kesalehan yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk tindakan yang bercorak benar dan baik. Lalu siapa yang harus melakukannya ? Tentu oleh setiap individu yang berikrar telah beragama Islam dan secara mukallaf telah bersedia menunaikan seluruh ajaran agama ini.

Dalam perspektif ini, figur individu muslim/muslimah menjadi penting dalam suatu komunitas masyarakat, baik secara homogen atau heterogen. Karena individu dengan individu lainnya yang berdiam di suatu lokasi dan merasa saling membutuhkan satu sama lain, pada gilirannya akan membentuk suatu masyarakat yang permanen. Nah, dalam konteks ini, ajaran agama Islam kemudian menyodorkan suatu ajaran tentang ibadah kepada Allah SWT yang berkategori ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah. Dua kategori ibadah inilah yang mempertemukan urgensi figur individu dengan figur komunitas masyarakat.

II. Urgensi Kemerdekaan Bagi Individu dan Masyarakat

Individu semacam apa yang ideal mampu merintis suatu masyarakat yang Islami ? Jawabannya sederhana, yaitu individu yang menyadari betapa dirinya telah memperoleh tiga nikmat penting dari Allah SWT, yaitu nikmat kehidupan, nikmat kemerdekaan, dan nikmat hidayah iman.

Nikmat yang pertama, nikmat kehidupan sungguh merupakan nikmat yang taken for granted atau ready for use. Kehidupan yang diberikan oleh Allah telah dilengkapi dengan hardware (jasmani) dan software (insting, rohani, hati nurani dan ruh) yang serba terbaik. Durasi detak jantung yang dimiliki mereka yang tetap tak berubah, oleh Allah dikendalikan secara gratis, tanpa memungut biaya sewa dari mereka.

Nikmat kedua, nikmat kemerdekaan juga merupakan nikmat yang serba terbaik, karena Allah melengkapi nikmat ini dengan potensi akal pikir dan akal budi. Dengan potensi ini manusia termotivasi untuk belajar dan belajar, agar menguasai ilmu secara seluas-luasnya, sehingga cara dan metode ibadah mereka kepada Allah benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam, di mana dengan ini pula manusia mampu makhluk-Nya yang derajatnya tertinggi karena mampu memangku predikat khalifah di bumi yang dilaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah.

Namun, kemerdekaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah kemerdekaan yang serba tidak terbatas. Kemerdekaan itu tentu relatif, karena dibatasi oleh kemerdekaan pihak lain. Dalam arti lain, ada kemerdekaan lain selain kemerdekaan individu, yaitu kemerdekaan masyarakat. Faktor kemerdekaan yang secara inheren sebagai HAM (Hak Asasi Manusia) ini baru bisa terwujudkan secara benar dan baik apabila masing-masing individu menyadari tentang kuantitas dan kualitas hak dan kewajibannya masing-masing. Semakin besar dan luas hak yang dimiliki, maka akan semakin besar dan luas pula kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Hak dan kewajiban tersebut tentu terkemas secara tertulis atau tidak tertulis. Akan tetapi semua hal itu tetap harus korelatif dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, dan hal ini baru mudah dan ringan rasanya melaksanakannya bilamana di dalam setiap jiwa telah tertanam komitmen pribadi maupun komitmen sosial. Sebab jika perihal komitmen ini tipis kualitasnya, maka yang akan terjadi tak lebih dari sebuah verbalisme belaka. Dengan verbalisme ini seseorang merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, mengucapkan atau menghafal rumusan-rumusan atau teori.

Adapun nikmat ketiga, nikmat hidayah iman adalah nikmat yang tertinggi, karena manifestasi nikmat ini menentukan kualitas hubungan seorang individu dengan Allah, sehingga jika nikmat ini diikuti dengan perilaku hidup yang sesuai ajaran agama Islam maka potensi berpikir dan potensi berdzikir yang dimilikinya akan mengantarkannya sebagai ulul albab yang saleh / musleh.

III. Urgensi Mempermutu Peradaban Masyarakat

Kira-kira mudahkah menjabarkan atau memberdayakan nilai-nilai kemerdekaan itu ? Tentu tidak mudah. Karena secara internal, setiap individu memiliki hawa nafsu yang senantiasa menggodanya untuk melakukan perbuatan maksiat yang penuh dosa. Sehingga kunci strategisnya adalah haruslah disepakati bahwa hawa nafsu itu adalah musuh bersama yang harus diwaspadai setiap waktu. Jika musuh bersama mampu dijinakkan atau dikendalikan, maka dua langkah berikutnya akan mudah dilaksanakan.

Langkah apakah itu ? Yaitu langkah amal saleh secara internal dan amal saleh secara eksternal. Langkah amal saleh internal adalah sebagai berikut: (1) Mempermutu kecerdasan dan potensi kreativitas pribadi. (2) Mempermutu hidup istri, anak-anak dan keluarga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa cinta kepada Allah harus dibuktikan dalam bentuk cinta kepada sesama manusia secara enak dan harmonistik. (4) Melakukan perubahan individu yang sistematis dan berkarakter positif di mana hanya dapat dilakukan melalui strategi dan pelaksanaan sistem pendidikan yang Islami.

Adapun langkah amal saleh eksternal adalah langkah individual yang berdimensi sosial-budaya, yaitu: (1) Mempermutu budaya dan peradaban masyarakat. (2) Meng-advokasi kaum lemah dan para mustdh’afin. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa kualitas sejarah umat sangat ditentukan oleh penjabaran keberimanan kepada Allah dalam setiap dinamika sosial budaya. (4) Melakukan perubahan sosial yang sistematis dan mengikat di mana dalam hal ini hanya dapat dilakukan melalui perjuangan politik di dalam forum parlemen negara.

Dua langkah tersebut dimungkinkan tidak mudah dilaksanakan. Sebab corak budaya masyarakat Indonesia lebih banyak yang bermodel paguyuban sehingga elite-elite pemimpinnya lebih memilih pola hubungan yang feodalistik. Dalam pola ini, kalau pun teori modernisasi budaya diterapkan, hasilnya tetap hanya menyentuh aspek ekonomi, sebab selain aspek ekonomi memang sengaja diseret ke suasana budaya bisu. Contohnya, sistem ekonomi modern yang diterapkan rezim orde baru (1967-1998) sangat leluasa diwujudkan karena disertai sistem budaya dan politik yang otoriter. Melawan sistem ekonomi jenis ini hanya bisa dengan perubahan lewat teori struktural, kata Arief Budiman.

Sedangkan langkah perjuangan politik melalui forum parlemen, idealisasi perubahan sosial yang bermutu dan berdimensi masyarakat madani juga tidak mudah dilaksanakan. Sebab SDM (sumber daya manusia) yang ter-rekrut ke lembaga-lembaga negara, baik legislatif, eksekutif atau yudikatif, masih ber- asal dari SDM-SDM yang terkontaminasi virus-virus negatif budaya politik orde baru. Hal semacam itu yang kini menjadi episode-episode yang menyedihkan di tingkat nasional akhir-akhir ini.

Maka apakah solusinya harus selalu berbentuk demonstrasi ? Tentu tidak ! Apalagi ditengarai ada sekian demonstrasi yang merupakan pesanan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap persoalan politik tertentu. Bahkan ada sekian tukang becak yang disewa untuk ikut berdemonstrasi dengan bayaran sesuai dengan pendapatan becak mereka biasanya sehari-hari.
Itulah problematika bangsa Indonesia ini !
Wallahu A’lam.

ESENSI AJARAN ISLAM


ESENSI AJARAN ISLAM
TENTANG KESALEHAN INDIVIDU DAN SOSIAL
I. Pendahuluan
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Andaikan di alam semesta ini tidak terdapat makhluk yang berjenis manusia, maka agama Islam tidak perlu diwahyukan oleh Allah SWT. Sebab pada esensinya, yang benar-benar membutuhkan kepada agama Islam adalah manusia. Dapat dibayangkan, andaikan seluruh manusia di planet bumi ini tidak ada satu pun yang beragama Islam, maka diduga kuat suatu hukum rimba akan berlaku bagi seluruh manusia, pihak yang kuat akan memaksakan kehendak kepada pihak yang lemah, pihak yang berkuasa akan bertindak imperialistik pada pihak yang dikuasai. Dari sudut pandang ini, betapa pun ada pihak-pihak yang tidak menyukai komunitas masyarakat Islam di bumi, sungguh suasana kondusif dan terjaganya harmonitas sosial dunia juga karena di-support secara serius oleh elite-elite pemimpin Islam internasional.

Dari sekian macam ajaran Islam, salah satu esensinya yang terpenting adalah urgensi kesalehan yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata umat manusia. Kesalehan di sini bukan sekedar konsep teoritis dan paradigmanya, tetapi kesalehan yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk tindakan yang bercorak benar dan baik. Lalu siapa yang harus melakukannya ? Tentu oleh setiap individu yang berikrar telah beragama Islam dan secara mukallaf telah bersedia menunaikan seluruh ajaran agama ini.

Dalam perspektif ini, figur individu muslim/muslimah menjadi penting dalam suatu komunitas masyarakat, baik secara homogen atau heterogen. Karena individu dengan individu lainnya yang berdiam di suatu lokasi dan merasa saling membutuhkan satu sama lain, pada gilirannya akan membentuk suatu masyarakat yang permanen. Nah, dalam konteks ini, ajaran agama Islam kemudian menyodorkan suatu ajaran tentang ibadah kepada Allah SWT yang berkategori ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah. Dua kategori ibadah inilah yang mempertemukan urgensi figur individu dengan figur komunitas masyarakat.

II. Urgensi Kemerdekaan Bagi Individu dan Masyarakat

Individu semacam apa yang ideal mampu merintis suatu masyarakat yang Islami ? Jawabannya sederhana, yaitu individu yang menyadari betapa dirinya telah memperoleh tiga nikmat penting dari Allah SWT, yaitu nikmat kehidupan, nikmat kemerdekaan, dan nikmat hidayah iman.

Nikmat yang pertama, nikmat kehidupan sungguh merupakan nikmat yang taken for granted atau ready for use. Kehidupan yang diberikan oleh Allah telah dilengkapi dengan hardware (jasmani) dan software (insting, rohani, hati nurani dan ruh) yang serba terbaik. Durasi detak jantung yang dimiliki mereka yang tetap tak berubah, oleh Allah dikendalikan secara gratis, tanpa memungut biaya sewa dari mereka.

Nikmat kedua, nikmat kemerdekaan juga merupakan nikmat yang serba terbaik, karena Allah melengkapi nikmat ini dengan potensi akal pikir dan akal budi. Dengan potensi ini manusia termotivasi untuk belajar dan belajar, agar menguasai ilmu secara seluas-luasnya, sehingga cara dan metode ibadah mereka kepada Allah benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam, di mana dengan ini pula manusia mampu makhluk-Nya yang derajatnya tertinggi karena mampu memangku predikat khalifah di bumi yang dilaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah.

Namun, kemerdekaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah kemerdekaan yang serba tidak terbatas. Kemerdekaan itu tentu relatif, karena dibatasi oleh kemerdekaan pihak lain. Dalam arti lain, ada kemerdekaan lain selain kemerdekaan individu, yaitu kemerdekaan masyarakat. Faktor kemerdekaan yang secara inheren sebagai HAM (Hak Asasi Manusia) ini baru bisa terwujudkan secara benar dan baik apabila masing-masing individu menyadari tentang kuantitas dan kualitas hak dan kewajibannya masing-masing. Semakin besar dan luas hak yang dimiliki, maka akan semakin besar dan luas pula kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Hak dan kewajiban tersebut tentu terkemas secara tertulis atau tidak tertulis. Akan tetapi semua hal itu tetap harus korelatif dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, dan hal ini baru mudah dan ringan rasanya melaksanakannya bilamana di dalam setiap jiwa telah tertanam komitmen pribadi maupun komitmen sosial. Sebab jika perihal komitmen ini tipis kualitasnya, maka yang akan terjadi tak lebih dari sebuah verbalisme belaka. Dengan verbalisme ini seseorang merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, mengucapkan atau menghafal rumusan-rumusan atau teori.

Adapun nikmat ketiga, nikmat hidayah iman adalah nikmat yang tertinggi, karena manifestasi nikmat ini menentukan kualitas hubungan seorang individu dengan Allah, sehingga jika nikmat ini diikuti dengan perilaku hidup yang sesuai ajaran agama Islam maka potensi berpikir dan potensi berdzikir yang dimilikinya akan mengantarkannya sebagai ulul albab yang saleh / musleh.

III. Urgensi Mempermutu Peradaban Masyarakat

Kira-kira mudahkah menjabarkan atau memberdayakan nilai-nilai kemerdekaan itu ? Tentu tidak mudah. Karena secara internal, setiap individu memiliki hawa nafsu yang senantiasa menggodanya untuk melakukan perbuatan maksiat yang penuh dosa. Sehingga kunci strategisnya adalah haruslah disepakati bahwa hawa nafsu itu adalah musuh bersama yang harus diwaspadai setiap waktu. Jika musuh bersama mampu dijinakkan atau dikendalikan, maka dua langkah berikutnya akan mudah dilaksanakan.

Langkah apakah itu ? Yaitu langkah amal saleh secara internal dan amal saleh secara eksternal. Langkah amal saleh internal adalah sebagai berikut: (1) Mempermutu kecerdasan dan potensi kreativitas pribadi. (2) Mempermutu hidup istri, anak-anak dan keluarga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa cinta kepada Allah harus dibuktikan dalam bentuk cinta kepada sesama manusia secara enak dan harmonistik. (4) Melakukan perubahan individu yang sistematis dan berkarakter positif di mana hanya dapat dilakukan melalui strategi dan pelaksanaan sistem pendidikan yang Islami.

Adapun langkah amal saleh eksternal adalah langkah individual yang berdimensi sosial-budaya, yaitu: (1) Mempermutu budaya dan peradaban masyarakat. (2) Meng-advokasi kaum lemah dan para mustdh’afin. (3) Menajamkan wawasan teologis, bahwa kualitas sejarah umat sangat ditentukan oleh penjabaran keberimanan kepada Allah dalam setiap dinamika sosial budaya. (4) Melakukan perubahan sosial yang sistematis dan mengikat di mana dalam hal ini hanya dapat dilakukan melalui perjuangan politik di dalam forum parlemen negara.

Dua langkah tersebut dimungkinkan tidak mudah dilaksanakan. Sebab corak budaya masyarakat Indonesia lebih banyak yang bermodel paguyuban sehingga elite-elite pemimpinnya lebih memilih pola hubungan yang feodalistik. Dalam pola ini, kalau pun teori modernisasi budaya diterapkan, hasilnya tetap hanya menyentuh aspek ekonomi, sebab selain aspek ekonomi memang sengaja diseret ke suasana budaya bisu. Contohnya, sistem ekonomi modern yang diterapkan rezim orde baru (1967-1998) sangat leluasa diwujudkan karena disertai sistem budaya dan politik yang otoriter. Melawan sistem ekonomi jenis ini hanya bisa dengan perubahan lewat teori struktural, kata Arief Budiman.

Sedangkan langkah perjuangan politik melalui forum parlemen, idealisasi perubahan sosial yang bermutu dan berdimensi masyarakat madani juga tidak mudah dilaksanakan. Sebab SDM (sumber daya manusia) yang ter-rekrut ke lembaga-lembaga negara, baik legislatif, eksekutif atau yudikatif, masih ber- asal dari SDM-SDM yang terkontaminasi virus-virus negatif budaya politik orde baru. Hal semacam itu yang kini menjadi episode-episode yang menyedihkan di tingkat nasional akhir-akhir ini.

Maka apakah solusinya harus selalu berbentuk demonstrasi ? Tentu tidak ! Apalagi ditengarai ada sekian demonstrasi yang merupakan pesanan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap persoalan politik tertentu. Bahkan ada sekian tukang becak yang disewa untuk ikut berdemonstrasi dengan bayaran sesuai dengan pendapatan becak mereka biasanya sehari-hari.
Itulah problematika bangsa Indonesia ini !
Wallahu A’lam.

Cerita Rakyat Muna “La Ode Wuna”

Cerita Rakyat Muna   “La Ode Wuna”
         Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Muna berna Omputusangia, nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni. Omputusangian memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Setiap hari, Omputusangia hanya disibukkan dengan masalah-masalah kerajaan karena kerajaan adalah sebuah pusat penyimpanan semua hal-hal penting, boleh dibilang semua yang ada dalam kerajaan adalah panutan atau pedoman yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat Muna.
Tiba pada suatu malam, Omputusangia duduk di tempat peristirahatannya, ia pun berpikir bahwa sudah tujuh puluh tahun menikahi istrinya namun Omputusangian belum juga mendapatkan keturunan, lelah berpikir akhirnya raja terlelap tidur karena sudah larut malam.
Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna didatangi seorang saidagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar itu bernama Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan lagi bahwa Saidhi Raba memiliki kemampuan hebat seperti sebuah kesaktian karena Saidhi Raba datang di pulau Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba datang ke kerajaan. Pergilah pengawal kerajaan tersebut ke tempat Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut menjelaskan alasannya tidak membawa Saidhi Raba. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin dating ke Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah hewan yang haram.
Demi kedatangan Saidhi Raba, Raja Muna rela melepas semua babinya. Disurulah kembali pengawal untuk pergi menjemput Saidhi Raba. Sore harinya, Saidhi Raba datang ke Istana dan bertanya pada Raja tentang maksud Raja memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa ia ingin menguji kesaktian dari Saidhi Raba, hingga ia mampu menyebarkan ajaran agama Islam di Muna. Pertama-tama, Raja menguji Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang diinginkan oleh Raja saat itu maka Raja akan masuk dalam ajarannya yakni Islam.  Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul. Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan namun doanya belum dikabulkan. Muncul kecurigaan dari Raja bahwa Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti apa yang dibicarakan. Saidhi Raba rupanya tidak berhenti disitu, dilanjutkannya lagi untuk berdoa yang kedua kalinya, akhirnya doa Saidhi Raba diterima. Istri Raja pun mengandung dan Raja masuk agama Islam karena senang melihat istrinya telah mengandung. Sebelum pulang, Saidhi Raba berkata pada Raja bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan karena umur istri Raja Muna sudah sangat tua.
Perkataan Saidhi Raba rupanya terus dipikirkan oleh Omputosangia. Tibalah waktunya untuk istri Raja melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri Raja Muna berbadan setengah manusia dan setengah ular. Raja pun sedih melihat kondisi anaknya namun ia harus berterima kasih karena ia telah meminta anak itu dari kesaktian Saidhi Raba. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu dari Bugis ataupun Minangkabau, anaknya yang diberi nama La ode Muna selalu disembunyikan dalam guci karena Raja malu dengan keadaan fisik yang dialami oleh anaknya.
Lima belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi dewasa. Mulailah ia menggoda para gadis yang ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memiliki seorang pacar, namun Raja tidak menhendaki dan melarangnya karena tidak mungkin La Ode Muna dapat menikahi seorang gadis bila kondisi fisiknya setengah manusia dan setengah ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan untuk membuang La Ode Muna agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja membuang La Ode Muna di Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan  44 biji ketupat. Setelah empat puluh hari di buang di tempat itu, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala dan mengatakan bahwa saya telah terbang. Sampai sekarang rakyat Muna tidak mengetahui arah La Ode Muna terbang. Ada pula yang mengatakan bahwa La Ode Muna terbang ke Ternate. La Ode Muna dianggap sebagai seorang yang memiliki ilmu ataupun kemampuan. Jadi, rakyat Muna mengistimewakan La Ode Muna karena ia manusia yang berkah karena disamping memiliki kekurangan  ia juga mempunyai kelebihan yakni setiap yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan.

Ladhe Wuna

Dhamani wawono, te liwuntomu witeno wuna nando seghonu lambu dokonae kamali be dhumaganie semie omputo nokonano Omputosangiano wuna, neano La Ode Husaeni. Omputusangia nohakui Omputorimbi padamo nokawinie salamponano fitufulu fitu taghumu. Sesegholeo, Omputosangia dowuleane be aru-aruhino okafehumpuha maitu. Norato sewakutu karondoha, Omputosangia nongkora we kamali kafewulehano tamaka Omputosangia minaho dokoana. Anoa nofikirie namedahae sodokoanagho, no wule no fikiri tandano tano lodo rampano nobalamu alo.
Rato nomentae, Omputosangia nopoghawawo barita neneangkano welo kamali nandomu mie mengkaratono maeghono we Arabu be patudhuno mefolilino agama Islam. Neano saudagar itu Saidhi Raba. Omputosangia notudu ana buahino sobasi Saidhi Raba rampano Saidhi Raba nodhagani nepandehauno. Pada itu niontagi oraja welo kamali, ana buahino nosulimo ne kamali nadha sikalaha be Saidhi Raba nosuli moisano. Omputosangia nomara rampano mina narumato Saidhi Raba. Ana buahino itu nobisaragho rampano Saidhi Raba nanahumunda nokumala we lambuno Omputosangia rampano Omputusangia nepiara o wewi, Saidhi Raba mina nokumala rampano notimbula wewi ane welo agama Islam no haram.
Bemkaratohano Saidhi RabA, Omputosangia no relamo nofifelei wewino sumano nopoghawa be Saidhi Raba. Notudu tora ana buahino namoghawagho Saidhi Raba. Kapandano gholeo, noratomu Saidhi Raba we lambuno. Nofenagho noafa Omputosangia noniati namena fikirino Saidhi Raba, pasino nopondeimo nokomohea agama Islam se witeno wuna. Pakatandano, Omputosangia notudu Saidhi Raba sa nabasa we totono lolono. Saidhi nobisara, Omputosangia nopindalo nokoana rampano mie lambuno noghafa. Nobasamo doa Saidhi Raba nesalo nekakawasa tamak minahu notarimae, Saidhi Raba nobasa doa ferapakumo maka notarimae. Miendo lambuno Omputosangia no pangidamo be nobalamo taghino. Oputosangia nopesuamo agama Islam rampano notumpu lalono nobalamo taghimo miendo lambuno. Naho nasumuli nobisara Saidhi Raba ne Omputo, rohi welo kandungano ituokasalo-salo nekakawasa rampano umuruno mieno lambuno notughamo.
Wambano Saidhi Raba dhadhi fikiri Omputosangia. Noratumu wakutuno sokalentehano anano Omputo.  Nokotughumu wambano Saidhi Raba. Anano nolente sebera manusia sebera ghule dokonaemu neano Adhe wuna (La Ode Wuna). Omputosangia nobela lalono nowora anano, ano notarimae rampano maeghonomu wekakawasa. Sesegholeo, pedahae ane norato tamu maeghono we Bugis be Minanggkabau, anano sadhia nefebunie welo guci rampano noambanu.
Ompulu lima taghu tewise, La Ode Wuna nobalamo. Notandamo dua nopogau be kalambe welo kamali. Adh Wuna nopindalomu dua noguma semia robine, nobisaramo ne Omputo tamaka Omputo nanamindalo ane Adhe Wuna noguma. Sampe norato segholeo, Omputo nobutuemo so Adhe Wuna noghomoroemu rampano noambanu. Omputo noghoroe Adhe Wuna we onggumora we pola, be bakuluno fatofulu fatoghonu ghunteli be fatofulu fatoghulu katupa. Fatofulughami doghoroe we onggumora, La Ode Wuna nohoro telani be norende badhano be nobisara inodi ahoromu telani. Sampe ampahiaitu, omieno liwu minamo damendahane bahi nehamai Adhe Wuna, maka nando dua nobisarana nohoro we Ternate. Meindo Wuna, dokonahae La Ode Wuna semie mandahauno kanandono. Dhadi, miendo Wuna doghondofane Adhe Wuna rampano mie barakati, rampano hamai nobesarane nokotughu.


Kerajaan Muna SULAWESI TENGGARA - Kerajaan di Sulawesi Tenggara

Kerajaan Muna

SULAWESI TENGGARA - Kerajaan di Sulawesi Tenggara

Kerajaan Muna

 Muna pada asalnya dikenal dengan WUNA (bunga) yang menberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana
terdapatnya gugusan batu yang berbunga seakan-akan batu karang yang ditumbuhi rumput laut.
Nama Wuna kini ditukar dengan Muna dan menjadi daerah dalam Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi.
Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu ditumbuhi sejenis rambut karang menyerupai bunga.
Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut "Bahutara" yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu "Sawerigading" tokoh asal Bugis Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak/rempuh batu karang. Para pengikut Sawegading sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di Jazirah Sulawesi Tenggara.Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan LAKILAPONTO sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.

Setelah LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La POSASU,
adik LAKILAMPO. Pertabalan LAKILAPONTO sebagai Sultan Buton merupakan hadiah dari Sultan yang sedang berkuasa
atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi Pemimpin Buton dan kemudian bergelar Sultan Murhum, menyusul diterimanya Islam sebagai agama
resmi Kerajaan, LAKILAPONTO mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La POSASU, untuk saling membantu dan
bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.

Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut.

Tiga Bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat Bharata.
IHWAL pembangunan Kota Muna, Couvreur mengutip kepercayaan mistiK bahwa dalam pembangunan benteng kota itu
oleh LAKILAPONTO dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab,
seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar Ibu Kota Kerajaan tersebut, La POSASU sebagai pengganti LAKILAPONTO juga mendirikan bangunan tempat Perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna.

Fasilitas publik lainnya di Kota Muna adalah masjid.
Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama.
Masjid di Kota Muna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Agung Kota Muna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938).
Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama memangku Raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid).
Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna.

KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Muna saat ini hanyalah bangunan Masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Wuna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan Masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk asalnya.

Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan Raja-Raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan Benteng Kota Muna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar.
Kerajaan Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang.
Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Wuna(Mahkamah Adat) sebagai miniatur Kota Muna beberapa abad silam

Leluhur Muncul dari Bambu
MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wa ka ka, Ratu pertama Kesultanan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan Mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu.La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja,Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe (Tanri Abeng) juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata.

Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna.
Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai.
Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Sultan Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut.

TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam
masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode.

Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar La ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka.
Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati.
Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar La ode.apisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Muna terdiri atas enam anggota, yaitu Raja, Bhonto Balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu.
Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan.
Tradisi dan Wisata WISATA -"Lia Ngkobori atau [gua bergaris/bertulis Adalah dua buah goa besar peninggalan nenek moyang bangsa Muna.

Muna yang dalam kitab sejarahnya adalah mendapat gelar KOTA ARABIA LAMA karena keadaan negerinya yang
menyerupai Arabia."Pada dinding goa /lia ngkobori. bisa disaksikan lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seorang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-lainnyap.Walaupun relief atau gambar tsb. terkesan sederhana tetapi kita dapat menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu.

Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung walet. Gua tsb. mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna putih. zkawasan gua tsb. sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur. TRADISI -"Perkelahian Kuda merupakan salah satu atraksi yang terkenal di Sulawesi Tenggara yang hanya terdapat di Muna.Perkelahian kuda diadakan pada berbagai acara atau perayaan. Penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus.Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka

ASAL USUL PULAU MUNA

ASAL USUL PULAU MUNA
Muna pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berti bunga. Nama itu memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapat gugusan batu yang berbunga. Gugusan batu tersebut menyerupai batu karang. Pada waktu-waktu tertentu batu karang dimaksud kerap mengeluarkan tunas-tunas yag tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’ artinya Batu Berbunga . Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4006’ samapi 5015’ lintang Selatan dan 12208’ – 123015’ bujur timur, tepatnya diantara Pulau Sulawesi dibagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Timur dan Pulau Kabaena di Sebelah Barat. Selain nama Pulau, Muna juga menjadi nama salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di kerajaan Muna , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV. Astri Raha, menjelaskan pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara).
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton.Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut.
A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT ”
Hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat. Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna - ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” mengenai asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat- dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.
B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Tradisi lisan tersebut telah menjadi referensi penulis sejarah Muna untuk menceritakan asal mula Pulau Muna, Dalam tradisi lisan itu dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang.Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut.
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang tersebut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup berates-ratus tahun dikalangan masyarakat muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih.
C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabe yang ternyata saudara kembarnya. Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
“ Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Dari panel tersebut kita dapat mengetahi bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti seecara ilmiah adalah relief yang ada di gua Liangkobori dan gua Metanduno. Relief yang terdapat di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia.

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia

Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia
Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia
lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai
pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah
disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah
sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan
Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan
Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia
(empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad
ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita
mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa
sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan
sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu
sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan
Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka
tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu
saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba
dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane,
sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada
sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche
School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada
1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra
Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu
hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk
Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak
melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang
ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra
Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa.
Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra
Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada
2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra
(dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra
Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki
kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran
berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya
Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut
Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena
memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya
untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti
Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar
dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan
sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu
sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami
wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah
karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang
menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-
1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan
Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang
modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-
musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan
hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik,
dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan
mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh
saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa,
memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia,
yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan
sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua
“kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa
(52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*